Kamis, 20 Mei 2010

Kisah Sang Pengrajin Keset Kaki

Saya ingat sewaktu KUKERTA, saya berkenalan dengan seorang nenek yang selalu bersenyum padahal hidupnya hanya seorang diri. Dia sudah berumur 80 an tahun. Anak-anak nya meninggalkannya digubuk tua dari papan yang sudah hampir lapuk. Karena hidup seorang diri maka melengkapi kehidupan nya sehari-hari ia membuat keset kaki.

            Orang tua itu rela ditinggalkan anaknya dengan alasan ia tidak mau hidup numpang anak kandung sendiri. Ia merasa masih sanggup memenuhi hidupnya sendiri. Ia tidak mau hari tuanya menyusahkan anaknya. Saya ingat beliau pernah berkata “ orak opo opo ditinggal anak, nduk. Aku moh nganggu rumah tangga anakku.” Begitulah beliau selalu tidak ingin menyusahkan orang-orang sekelilingnya.

            Harga keset itu cukup murah hanya 3000 rupiah. Cukup unik keset tersebut karena berbentuk bermacam-macam bahkan bervariasi motif. Ia rela menghabiskan waktu untuk membuat keset, mulai dari ia mengumpulkan baju bekas yang tidak terpakai. Selanjutnya dengan tangan keriputnya ia gunting kecil-kecil baju bekas tersebut. Dengan lunglai tangan itu mulai menjahit. Akhirnya dengan bantuan kaca matanya, selesai juga satu persatu keset kaki.

            Terkadang saat mata nya tidak was-was lagi, jarum nakal itu tega menggores tangan muncil keriput itu. Terucaplah “asstafirullahi ‘al adzin”. Ia isap tangan yang luka itu. Setelah berhenti darah yang keluar maka ia lanjutkan menjahitnya. Sungguh orang yang luar biasa.

            Itulah gambaran kehidupan. Terus bagaimana dengan kita, pemuda Indonesia. Akankah kita kalah semangat dengan nenek tua itu. Apa kurangnya kita dengan nenek itu? Mengapa kita kalah dengan nenek tersebut? Dimana salahnya?

            Hai, pemuda-pemudi janganlah engkau kalah dengan nenek-nenek. ia telah mengalami kekurangan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan  sedangkan engkau adalah yang tidak mengalami semua kekurangan itu. Fisikmu kuat, pendengaran dan penglihatanmu bagus. Terus mengapa engkau hanya berdiam diri saja dirumah? Engkau hanya mengharapkan belaskasih orangtua. Mana prestasimu?

            Sedangkan kekuatan suatu Negara itu ada pada pemudanya. Harapan suatu bangsa terletak ditangan pemudanya. Maukah kita dijajah lagi? Maukah kita dijadikan budak? Tentunya tidak. Hayoo, bangun. Lihat kiri kanan, depan belakang, atas bawah! Teruslah mengejar cita-cita, engkaulah pemimpin Indonesia kedepan. Siapa lagi kalau bukan engkau?!

Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar